Setidaknya itu yang aku pikirkan ketika mengantarkan kepergianmu dari Kota Kembang. Aku hela nafas panjang dan tentu, kali ini jarak adalah biang keladi di antara kita. Sepeninggalmu aku ragu. Sampai cintaku yg dalam, kehilangan bayangan jika berjalan di bawah bulan. Semuanya tampak abu-abu, seperti bayangan. Sementara, cintaku, adalah cahaya itu sendiri.
Selepasnya hanya ada keraguan, berbait-bait sajak dipatri halus. Dan di pertemuan kita berikutnya, larik hatiku bisa kau baca.
Kekasihku, Tuanku. Apakah kau sedih? Jika di antara jari jemari yang semat-menyemat satu dan lainnya tadi malam tak ada cinta?
Malam ini, semalaman, aku menganggu lelahmu dengan pertanyaan bertubi-tubi yang aku kirim pada ponsel pintarmu. Maaf, entah kenapa aku ragu pada setiamu, dan heningmu adalah jawaban eksak yang aku tafsir tanpa keraguan. Akhirnya, hanya hening mu dan malam yang tersisa.
Kini malam kembali dengan maut dan sepi yang kau imani. Sepi yang membungkusmu dari keraguanku. Seakan menggenapkan turihan sunyi dalam dada, aku terima pedihnya. Aku hilang, digerus purnama derita.
Lira dan harpa mu, Tuan, adalah lagu tanpa nada dasar pada hamparan salju yang kelam~yang begitu cepat membekukanku dalam semalam.
Sementara aku~
Aku adalah ragu yang diseret sunyi pada api sepi yang berkobar-kobar, yang membakar habis cintaku.